JAMBI, PORWEBINDO.COM – Persoalan Batubara di Jambi tak hanya memunculkan paradoks tata kelola sumber daya alam tapi juga moralitasi berupa degradasi moral para intelektualnya. Sebuah catatan ringan ketika Batubara melahirkan pertumbuhan ekonomi sekaligus ketimpangan di sejumlah wilayah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Sebuah fakta yang ingin dikaburkan, oleh sebagian birokrasi dan juga akademisi.
Ironisnya, untuk membela tata kelola Batubara Jambi secara sosial malah melahirakan para intelektual tukang. Ya kini di Jambi tumbuh subur kaum intelektual tukang, yang menulis membela penguasa sekedar diupah dengan status para ahli dan fasilitas tertentu.
Idealnya, kaum intelektual atau ilmuan yang disebut sebagai pewaris nabi diharapkan menjadi pribadi-pribadi otonom yang tidak pernah takut kepada segala risiko yang mengancam hidup dan penghidupan mereka, karena memang tujuan para nabi bukanlah mencari upah material. Namun, yang terjadi saat ini, tidak sedikit kaum intelektual yang justru menjadikan intelektualitasnya sebagai alat utama untuk sekadar memburu rente. Karena itu, kaum intelektual semacam ini dapat disebut sebagai intelektual tukang.
Ada beberapa kecenderungan yang dimiliki oleh intelektual tukang dalam bekerja, yaitu pertama, ada yang langsung menjajakan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat., sehingga mereka terlihat sebagai para penggerak pendidikan. Namun, sesungguhnya mereka adalah para pencari untung yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas. Kebahagiaan mereka bukan lagi pada besaran manfaat yang bisa diberikan kepada masyarakat dan/atau negara, melainkan telah berubah menjadi kecenderungan kepada ihwal yang bersifat material atau duniawi.
Para intelektual tukang ini tak peduli atau tutup mata aktivitas tambang Batubara menunjukkan ketimpangan pada wilayah yang tambang batu bara melimpah.
Maka ketika soal batubara ada anomali, beramai – ramai mereka membantah. Soal fakta, Jambi dengan tambang batu bara yang luas ternyata tak menjamin rendahnya tingkat kemiskinan dan pengangguran warga sekitar, tanpa berdosa mereka katakan tak ada hubungan dengan batubara.
Dari data BPS Provinsi Jambi, angka penduduk/orang miskin di Jambi per September 2022 sebanyak 283.820 orang. Angka tersebut, naik sebanyak 4.450 orang, terhadap Maret 2022.
Jika dibandingkan dengan angka kemiskinan dengan produksi batubara di Provinsi Jambi mencapai 17,3 juta ton hingga November 2022, dengan total nilai ekspor tahun 2022 lalu mencapai US$ 312,46 Juta. Angka ini meningkat 13,97 persen dari capaian ekspor di bulan Juli 2021 lalu.
Namun sayang, jika dibandingkan pada September 2021, angka orang miskin di Jambi naik 3.960 orang. Angka kemiskinan di Provinsi Jambi naik 0,08 persen poin periode Maret – September 2022.
Besarnya hasil batubara dengan kemiskinan, malahan kedalaman kemiskinan makin parah dengan hidupnya tambang batubara, soal kemacetan, kesehatan dan kerusakan jalan dan lingkungan.
Ketika tambang batubara mengerus efisiensi sektor angkutan, ketika batubara merubah struktur pekerjaan dan areal pertanian, maka sesungguhnya kemiskinan telah lahir.
Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan.
Area bekas tambang merusak kondisi lahan, mengontaminasi air, dan kandungan air dalam tanah juga menjadi rusak. Tambang dianggap merusak potensi lahan untuk bercocok tanam. Nelayan dan petani kehilangan produktivitas hingga 50 persen untuk padi dan 80 persen untuk ikan.
Akibatnya, bayang-bayang kemiskinan
Tak melulu kabupaten/kota dengan wilayah batu bara yang luas, berarti tingkat kemiskinan juga rendah atau di bawah angka provinsi Jambi. Sebuah paradoks yang dibela para intelektual tukang.
* Bukan Tim Ahli Penguasa
Discussion about this post